arif wijoyokusumo
3.14.2010
Kegiatan Idul Adha 1431 H
Keluarga besar SMKN 1 Bontang mengucapkan : "Selamat Hari Raya Idul Adha 1431 H, semoga Allah SWT menjadikan kita hamba yang dapat meneladani jiwa pengorbana Nabi Ibrahim a.s.dan jiwa keikhlasan Ismail a.s. Amin............."
Diskusi di III Analis Kimia SMKN 1 Bontang
3.12.2010
Hukum Membaca Al-Qur'an Tanpa Tahu Artinya
Al-Quran sesungguhnya merupakan kitab yang berisi petunjuk dasar untuk
hidup di alam dunia. Dengan menggunakan petunjuk itulah, kita diminta
oleh Allah SWT untuk beribadah kepada-Nya.
Ibadah dalam arti luas, bukan
terbatas pada ruang lingkup ritual dan sakral, tetapi seluruh aplikasi
kehidupan manusia sesungguhnya bagian dari ibadah. Tanpa menggunakan
petunjuk itu,
maka apapun yang kita niatkan sebagai ibadah akan sia-sia.
Maka selayaknya sebagai muslim, kita bukan sekedar hanya membaca
Al-Quran sebagai ritus ibadah, tetapi lebih dari itu, seharusnya kita
mempelajari maknanya, mendalami esensi isinya, serta pengimplementasikan
perintah-perintah yang ada di dalamnya menjadi suatu tindakan yang
nyata.
Al-Quran sendiri telah mengumpamakan orang yang membaca kitab namun
tidak mengerjakan isinya seperti layaknya keledai yang memanggul kitab.
Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian
mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab
yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat
Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. (QS.
Al-Jumu'ah: 5)
Maka menjadi kewajiban kita untuk mempelajari isi kitabullah,
sebagaimana ciri orang yang bersifat rabbani.
Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu
mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (QS. Ali
Imran: 79)
Perintah untuk melakukan tadabbur Al-Quran juga kita dapati sebagai
sebuah keharusan sebagai seorang muslim.
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quraan ataukah hati mereka
terkunci? (QS. Muhammad: 24)
Sekedar Membaca pun Ibadah
Namun tidak dapat kita pungkiri bahwa Al-Quran itu memang lain dari
wahyu yang lain. Salah satu kelebihannya adalah bila dibaca, meski tidak
dipahami maknanya, Al-Quran tetap mendatangkan pahala. Walaupun
manfaatnya menjadi sangat sedikit dibandingkan bila kita paham maknanya.
Namun perintah membaca tetap ada, sehingga meski kita belum menguasai
bahasa arab, tetap saja membaca Al-Quran merupakan perintah dari Allah
SWT. Perintah untuk membaca Al-Quran kita temukan bertebaran di dalam
Al-Quran sendiri, di antaranya ayat berikut ini:
Bacalah apa yang mudah dari Al-Qur'an.(QS. Al-Muzzammil: 20)
Selain ayat Quran juga banyak hadits nabawi yang menganjukan kita untuk
membaca Al-Quran, tanpa menekankan pentingnya kita mengerti maknanya.
1. Orang yang Baca Al-Quran dengan Yang Tidak Baca Berbeda
Salah satu nash hadits secara tegas membandingkan orang yang membaca
Al-Quran dengan yang tidak membaca Al-Quran.
Dari Abu Musa Al-Asy`arit berkata, Rasulullah bersabda, "Perumpamaan
orang mukmin yang membaca Al-Qur`an bagaikan buah limau baunya harum dan
rasanya lezat. Dan perumpamaan orang mukmin yang tidak membaca Al-Qur`an
bagaikan kurma, rasanya lezat dan tidak berbau. Dan perumpamaan orang
munafik yang membaca Al-Qur`an bagaikan buah raihanah yang baunya harum
dan rasanya pahit, dan perumpamaan orang munafik yang tidak membaca
Al-Qur`an bagaikan buah hanzholah tidak berbau dan rasanya pahit." (HR
Bukhari dan Muslim)
Dari hadits ini jelas sekali bahwa sekedar membaca Al-Quran atau tidak
membacasudah membedakan kedudukan seseorang. Berarti ada nilai
tersendiri untuk sekedar membaca Al-Quran.
2. Bersama Malaikat
Hadits ini juga sangat eksplisit menyebutkan tentang orang yang membaca
Al-Quran, yaitu dijanjikan Allah akan di tempat bersama dengan para
malaikat.
Dari `Aisyah Radhiyallahu `Anha berkata, Rasulullah bersabda, "Orang
yang membaca Al-Qur`an dan ia mahir dalam membacanya maka ia akan
dikumpulkan bersama para Malaikat yang mulia lagi berbakti. Sedangkan
orang yang membaca Al-Qur`an dan ia masih terbata-bata dan merasa berat
(belum fasih) dalam membacanya, maka ia akan mendapat dua ganjaran." (HR
Bukhari Muslim)
Semakin tegas lagi ketika lafadz hadits ini menyebutkan kasus orang yang
membaca Al-Quran dengan terbata-bata yang tetap saja akan diberikan
pahala. Jelas menunjukkan tentang pentingnya membaca Al-Quran.
3. Bacaan Quran adalah Syafaat
Selain itu juga kita temukan adanya dalil yang menyebutkan tentang salah
satu fungsi bacaan Quran sebagai syafaat yang akan menolong kita di hari
akhir nanti.
Dari Abu Umamah Al-Bahili t berkata, saya telah mendengar Rasulullah
bersabda, "Bacalah Al-Qur`an!, maka sesungguhnya ia akan datang pada
Hari Kiamat sebagai syafaat bagi ahlinya (HR Muslim)
4. Diberi Pahala per Huruf
Dan semakin tegas lagi pentingnya membaca Al-Quran ketika Rasulullah SAW
bersabda:
Dari Abdullah bin Mas`ud t berkata bahwaRasulullahSAW, "Barangsiapa yang
membaca satu huruf dari Kitabullah (Al-Qur`an) maka baginya satu
kebaikan. Dan satu kebaikan akan dilipat gandakan dengan sepuluh kali
lipat. Saya tidak mengatakan "Alif lam mim" itu satu huruf, tetapi
"Alif" itu satu huruf, "Lam" itu satu huruf dan "Mim" itu satu huruf."
(HR At Tirmidzi dan berkata, "Hadits hasan shahih).
Betul-betul disebutkan bahwa membaca Al-Quran itu berpahala dan
pahalanya dihitung perhuruf, di mana setiap huruf akan dikalikan sepuluh
kebajikan.
Semua dalil ini menunjukkan bahwa sekedar membaca Al-Quran tanpa memaham
arti, juga sudah mendatangkan pahala. Namun kalau kita bandingkan dengan
dalil-dalil yang lain, tentu pahalanya akan menjadi lebih berkah, lebih
banyak dan lebih besar, manakala kita pun juga mengerti dan paham makna
bacaan yang kita baca.
hidup di alam dunia. Dengan menggunakan petunjuk itulah, kita diminta
oleh Allah SWT untuk beribadah kepada-Nya.
Ibadah dalam arti luas, bukan
terbatas pada ruang lingkup ritual dan sakral, tetapi seluruh aplikasi
kehidupan manusia sesungguhnya bagian dari ibadah. Tanpa menggunakan
petunjuk itu,
maka apapun yang kita niatkan sebagai ibadah akan sia-sia.
Maka selayaknya sebagai muslim, kita bukan sekedar hanya membaca
Al-Quran sebagai ritus ibadah, tetapi lebih dari itu, seharusnya kita
mempelajari maknanya, mendalami esensi isinya, serta pengimplementasikan
perintah-perintah yang ada di dalamnya menjadi suatu tindakan yang
nyata.
Al-Quran sendiri telah mengumpamakan orang yang membaca kitab namun
tidak mengerjakan isinya seperti layaknya keledai yang memanggul kitab.
Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian
mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab
yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat
Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. (QS.
Al-Jumu'ah: 5)
Maka menjadi kewajiban kita untuk mempelajari isi kitabullah,
sebagaimana ciri orang yang bersifat rabbani.
Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu
mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (QS. Ali
Imran: 79)
Perintah untuk melakukan tadabbur Al-Quran juga kita dapati sebagai
sebuah keharusan sebagai seorang muslim.
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quraan ataukah hati mereka
terkunci? (QS. Muhammad: 24)
Sekedar Membaca pun Ibadah
Namun tidak dapat kita pungkiri bahwa Al-Quran itu memang lain dari
wahyu yang lain. Salah satu kelebihannya adalah bila dibaca, meski tidak
dipahami maknanya, Al-Quran tetap mendatangkan pahala. Walaupun
manfaatnya menjadi sangat sedikit dibandingkan bila kita paham maknanya.
Namun perintah membaca tetap ada, sehingga meski kita belum menguasai
bahasa arab, tetap saja membaca Al-Quran merupakan perintah dari Allah
SWT. Perintah untuk membaca Al-Quran kita temukan bertebaran di dalam
Al-Quran sendiri, di antaranya ayat berikut ini:
Bacalah apa yang mudah dari Al-Qur'an.(QS. Al-Muzzammil: 20)
Selain ayat Quran juga banyak hadits nabawi yang menganjukan kita untuk
membaca Al-Quran, tanpa menekankan pentingnya kita mengerti maknanya.
1. Orang yang Baca Al-Quran dengan Yang Tidak Baca Berbeda
Salah satu nash hadits secara tegas membandingkan orang yang membaca
Al-Quran dengan yang tidak membaca Al-Quran.
Dari Abu Musa Al-Asy`arit berkata, Rasulullah bersabda, "Perumpamaan
orang mukmin yang membaca Al-Qur`an bagaikan buah limau baunya harum dan
rasanya lezat. Dan perumpamaan orang mukmin yang tidak membaca Al-Qur`an
bagaikan kurma, rasanya lezat dan tidak berbau. Dan perumpamaan orang
munafik yang membaca Al-Qur`an bagaikan buah raihanah yang baunya harum
dan rasanya pahit, dan perumpamaan orang munafik yang tidak membaca
Al-Qur`an bagaikan buah hanzholah tidak berbau dan rasanya pahit." (HR
Bukhari dan Muslim)
Dari hadits ini jelas sekali bahwa sekedar membaca Al-Quran atau tidak
membacasudah membedakan kedudukan seseorang. Berarti ada nilai
tersendiri untuk sekedar membaca Al-Quran.
2. Bersama Malaikat
Hadits ini juga sangat eksplisit menyebutkan tentang orang yang membaca
Al-Quran, yaitu dijanjikan Allah akan di tempat bersama dengan para
malaikat.
Dari `Aisyah Radhiyallahu `Anha berkata, Rasulullah bersabda, "Orang
yang membaca Al-Qur`an dan ia mahir dalam membacanya maka ia akan
dikumpulkan bersama para Malaikat yang mulia lagi berbakti. Sedangkan
orang yang membaca Al-Qur`an dan ia masih terbata-bata dan merasa berat
(belum fasih) dalam membacanya, maka ia akan mendapat dua ganjaran." (HR
Bukhari Muslim)
Semakin tegas lagi ketika lafadz hadits ini menyebutkan kasus orang yang
membaca Al-Quran dengan terbata-bata yang tetap saja akan diberikan
pahala. Jelas menunjukkan tentang pentingnya membaca Al-Quran.
3. Bacaan Quran adalah Syafaat
Selain itu juga kita temukan adanya dalil yang menyebutkan tentang salah
satu fungsi bacaan Quran sebagai syafaat yang akan menolong kita di hari
akhir nanti.
Dari Abu Umamah Al-Bahili t berkata, saya telah mendengar Rasulullah
bersabda, "Bacalah Al-Qur`an!, maka sesungguhnya ia akan datang pada
Hari Kiamat sebagai syafaat bagi ahlinya (HR Muslim)
4. Diberi Pahala per Huruf
Dan semakin tegas lagi pentingnya membaca Al-Quran ketika Rasulullah SAW
bersabda:
Dari Abdullah bin Mas`ud t berkata bahwaRasulullahSAW, "Barangsiapa yang
membaca satu huruf dari Kitabullah (Al-Qur`an) maka baginya satu
kebaikan. Dan satu kebaikan akan dilipat gandakan dengan sepuluh kali
lipat. Saya tidak mengatakan "Alif lam mim" itu satu huruf, tetapi
"Alif" itu satu huruf, "Lam" itu satu huruf dan "Mim" itu satu huruf."
(HR At Tirmidzi dan berkata, "Hadits hasan shahih).
Betul-betul disebutkan bahwa membaca Al-Quran itu berpahala dan
pahalanya dihitung perhuruf, di mana setiap huruf akan dikalikan sepuluh
kebajikan.
Semua dalil ini menunjukkan bahwa sekedar membaca Al-Quran tanpa memaham
arti, juga sudah mendatangkan pahala. Namun kalau kita bandingkan dengan
dalil-dalil yang lain, tentu pahalanya akan menjadi lebih berkah, lebih
banyak dan lebih besar, manakala kita pun juga mengerti dan paham makna
bacaan yang kita baca.
AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH MENJAGA UKHUWAH (PERSAUDARAAN) SESAMA MUKMININ
Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjaga ukhuwwah (persaudaraan) sesama Mukminin dan seolah mereka itu seperti satu tubuh, bila yang satu sakit, maka yang lainnya pun ikut merasakan sakit juga.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seorang Mukmin dengan Mukmin lainnya seperti satu bangunan yang tersusun rapi, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.” Dan beliau merekatkan jari-jemarinya. [1]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah bersabda:
“Perumpamaan kaum Mukminin dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan bahu-membahu, seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan demam.” [2]
Di antara hak-hak seorang Muslim yang harus dipenuhi oleh saudaranya sesama Muslim adalah:
1. Apabila berjumpa, mengucapkan salam.
2. Apabila diundang, maka dipenuhi undangannya.
3. Apabila meminta nasihat, maka dinasihati.
4. Apabila bersin dan mengucapkan: “Alhamdulillaah,” maka dido’akan dengan mengucapkan: “Yarhamukallaah (semoga Allah merahmatimu).”
5. Apabila sakit, hendaknya dijenguk.
6. Apabila meninggal dunia, maka diantarkan jenazahnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Lima hak yang harus ditunaikan seorang Muslim atas saudara Muslim lainnya: (1) menjawab salam, (2) bertasymit saat ia bersin, [3] memenuhi undangannya, (4) menjenguk ketika ia sakit, dan (5) mengantar jenazahnya.” [4]
7. Apabila mengalami kesulitan, maka diberikan bantuan.
8. Senantiasa memudahkan urusannya.
9. Senantiasa menutupi aibnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa menghilangkan satu kesulitan seorang Mukmin dari kesulitan-kesulitan dunia, maka Allah akan menghilangkan kesulitan darinya dari kesulitan-kesulitan di hari Kiamat. Dan barangsiapa memudahkan urusan seorang Mukmin, maka Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Dan barangsiapa yang menutupi aib seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya.” [5]
Ahlus Sunnah menganjurkan tolong-menolong sesama kaum Muslimin dalam kebaikan dan taqwa berdasarkan timbangan syari’at, bukan timbangan para pengikut hawa nafsu dan ahli bid’ah.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”[ Al-Maa-idah: 2]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, ]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seorang Mukmin dengan Mukmin lainnya seperti satu bangunan yang tersusun rapi, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.” Dan beliau merekatkan jari-jemarinya. [1]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah bersabda:
“Perumpamaan kaum Mukminin dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan bahu-membahu, seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan demam.” [2]
Di antara hak-hak seorang Muslim yang harus dipenuhi oleh saudaranya sesama Muslim adalah:
1. Apabila berjumpa, mengucapkan salam.
2. Apabila diundang, maka dipenuhi undangannya.
3. Apabila meminta nasihat, maka dinasihati.
4. Apabila bersin dan mengucapkan: “Alhamdulillaah,” maka dido’akan dengan mengucapkan: “Yarhamukallaah (semoga Allah merahmatimu).”
5. Apabila sakit, hendaknya dijenguk.
6. Apabila meninggal dunia, maka diantarkan jenazahnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Lima hak yang harus ditunaikan seorang Muslim atas saudara Muslim lainnya: (1) menjawab salam, (2) bertasymit saat ia bersin, [3] memenuhi undangannya, (4) menjenguk ketika ia sakit, dan (5) mengantar jenazahnya.” [4]
7. Apabila mengalami kesulitan, maka diberikan bantuan.
8. Senantiasa memudahkan urusannya.
9. Senantiasa menutupi aibnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa menghilangkan satu kesulitan seorang Mukmin dari kesulitan-kesulitan dunia, maka Allah akan menghilangkan kesulitan darinya dari kesulitan-kesulitan di hari Kiamat. Dan barangsiapa memudahkan urusan seorang Mukmin, maka Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Dan barangsiapa yang menutupi aib seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya.” [5]
Ahlus Sunnah menganjurkan tolong-menolong sesama kaum Muslimin dalam kebaikan dan taqwa berdasarkan timbangan syari’at, bukan timbangan para pengikut hawa nafsu dan ahli bid’ah.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”[ Al-Maa-idah: 2]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, ]
Zakat menurut siswa kelas X SMA Vidatra
( Menyikapi kasus pembagian zakat fitrah di Pasuruan, Senin, 15-09-2008 )
v Lembaga Amil Zakat mengumpulkan orang-orang yang tidak mampu dan golongan yang berhak menerima, lalu diberi pelatihan skill untuk bekerja agar dapat menghasilkan pendapatan lalu diberi modal kerja.
( Anindy V.M, X – B )
Seharusnya zakat diberikan secara diam-diam, dari rumah ke rumah, metode tersebut tidak menimbulkan keributan. Lagipula dengan metode ini, kita bisa lebih dekat dengan penerima zakat dan tidak terkesan sebagai dermawan yang ingin dipandang.
( Ezra Imam Fajrin, X – E )
v 1. Pembagian dan persiapan zakat harus dipersiapkan secara matang.
2. Diberikan secara sembunyi-bunyi biar tidak dianggap ria.
3. Untuk pemerintah, membuat UU yang melarang bagi setiap dermawan yang ingin membagikan zakat secara missal, tetapi tidak memiliki persiapan yang matang.
( Clara, X – F )
v Zakat diberikan dari atas helikopter, uang itu disebarkan.
( Grady )
v Dalam pembagian zakat diorganisir dengan baik, kalau perlu diberi pengamanan tentara satu battalion.
( M. Faishal, X – E )
v Zakat diberikan pada panti-panti asuhan, tempat kumuh yang banyak kaum dhuafa dan mendatangi tetangga-tetangga yang miskin.
( Syarifah Wahdah, X – E )
v Karena sekarang Amil jarang dipercaya maka amil harus merubah sistemnya bukan sebagai pembagi tetapi pencari. Jadi Amil mencari orang-orang yang mau berzakat. Sehingga ada 2 cara :
1. Jika orang yang mau berzakat percaya pada Amil tinggal kasih saja.
2. Amil mengajak orang yang berzakat memberikan langsung pada yang menerima.
( Wahyu Suluh )
v 1. Lewat amil zakat
2. Lewat acara seperti “Tolong” di salah satu program televisi.
3 Seperti acara “ Jika Aku “, agar orang yang diberi berusaha terlebih dahulu.
( Chyntia June Ansari, X – A )
v Ada loket untuk mendata yang dating, kemudian masuk gedung. Digedung ada MC dan ulama yang ceramah. Kemudian MC mengatur sesuai dengan kupon/ tiket untuk mengambil zakat. Pembagian zakat dipisah untuk yang lansia dan yang masih muda.
( Ayu Permatasari )
v Setelah pembagian zakat, tangan di stempel, agar tidak terjadi kecurangan.
( Yazid D, N. X – F )
v Memberi zakat dengan balon ( Saurprise )
1. Mendata siapa yang mendapat zakat.
2. Menyiapkan uang untuk zakat
3. Zakat uang dimasukkan ke dalam balon yang sudah ditiup
4. Memberi tahu pada mustahik, bahwa balon itu sangat berharga dan lebih berharga kalau diledakkan.
5. Sebelum diledakkan, mustahik harus berdoa terlebih dahulu, memohon kepada Allah atas segala rizki-Nya.
6. Setelah berdoa, baru balon diledakkan.
7. Alhamdulillah.
( Fildzah Hanifati, X – E )
v Zakat diberikan dengan membuat jadwal , misalnya :
1. Jl. Ambon : Hari Senin 22/ 09/ 08
2. Jl. Bali : Hari SElasa 23/ 09/ 08 dan seterusnya
( Prima Mitha Aldila, X – E )
v Lembaga Amil Zakat mengumpulkan orang-orang yang tidak mampu dan golongan yang berhak menerima, lalu diberi pelatihan skill untuk bekerja agar dapat menghasilkan pendapatan lalu diberi modal kerja.
( Anindy V.M, X – B )
Seharusnya zakat diberikan secara diam-diam, dari rumah ke rumah, metode tersebut tidak menimbulkan keributan. Lagipula dengan metode ini, kita bisa lebih dekat dengan penerima zakat dan tidak terkesan sebagai dermawan yang ingin dipandang.
( Ezra Imam Fajrin, X – E )
v 1. Pembagian dan persiapan zakat harus dipersiapkan secara matang.
2. Diberikan secara sembunyi-bunyi biar tidak dianggap ria.
3. Untuk pemerintah, membuat UU yang melarang bagi setiap dermawan yang ingin membagikan zakat secara missal, tetapi tidak memiliki persiapan yang matang.
( Clara, X – F )
v Zakat diberikan dari atas helikopter, uang itu disebarkan.
( Grady )
v Dalam pembagian zakat diorganisir dengan baik, kalau perlu diberi pengamanan tentara satu battalion.
( M. Faishal, X – E )
v Zakat diberikan pada panti-panti asuhan, tempat kumuh yang banyak kaum dhuafa dan mendatangi tetangga-tetangga yang miskin.
( Syarifah Wahdah, X – E )
v Karena sekarang Amil jarang dipercaya maka amil harus merubah sistemnya bukan sebagai pembagi tetapi pencari. Jadi Amil mencari orang-orang yang mau berzakat. Sehingga ada 2 cara :
1. Jika orang yang mau berzakat percaya pada Amil tinggal kasih saja.
2. Amil mengajak orang yang berzakat memberikan langsung pada yang menerima.
( Wahyu Suluh )
v 1. Lewat amil zakat
2. Lewat acara seperti “Tolong” di salah satu program televisi.
3 Seperti acara “ Jika Aku “, agar orang yang diberi berusaha terlebih dahulu.
( Chyntia June Ansari, X – A )
v Ada loket untuk mendata yang dating, kemudian masuk gedung. Digedung ada MC dan ulama yang ceramah. Kemudian MC mengatur sesuai dengan kupon/ tiket untuk mengambil zakat. Pembagian zakat dipisah untuk yang lansia dan yang masih muda.
( Ayu Permatasari )
v Setelah pembagian zakat, tangan di stempel, agar tidak terjadi kecurangan.
( Yazid D, N. X – F )
v Memberi zakat dengan balon ( Saurprise )
1. Mendata siapa yang mendapat zakat.
2. Menyiapkan uang untuk zakat
3. Zakat uang dimasukkan ke dalam balon yang sudah ditiup
4. Memberi tahu pada mustahik, bahwa balon itu sangat berharga dan lebih berharga kalau diledakkan.
5. Sebelum diledakkan, mustahik harus berdoa terlebih dahulu, memohon kepada Allah atas segala rizki-Nya.
6. Setelah berdoa, baru balon diledakkan.
7. Alhamdulillah.
( Fildzah Hanifati, X – E )
v Zakat diberikan dengan membuat jadwal , misalnya :
1. Jl. Ambon : Hari Senin 22/ 09/ 08
2. Jl. Bali : Hari SElasa 23/ 09/ 08 dan seterusnya
( Prima Mitha Aldila, X – E )
Materi Bab 5 SMU Kelas X
Sumber Hukum Ajaran Agama Islam
Sebelum membahas pengertian sumber hukum Islam, terlebih dahulu kita harus mengetahui pengertian hukum Islam. Hukum artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya. Hukum Islam disebut juga syariat atau hukum Allah SWT, yaitu hukum atau undang-undang yang ditentukan Allah SWT sebagaimana terkandung dalam kitab suci Alquran dan hadis (sunah). Syariat Islam juga merupakan hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat manusia, baik muslim maupun bukan muslim.
Menurut ulama usul fikih, hukum adalah tuntutan Allah SWT (Alquran dan hadis) yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (orang yang sudah balig dan berakal sehat), baik berupa tuntutan, pemilihan, atau menjadikan sesuatu sebagai syarat, penghalang, sah, batal, rukhsah (kemudahan) atau azimah.
Sedangkan menurut ulama fikih, hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh syariat (Alquran dan hadis) berupa al-wujub, al-mandub, al-hurmah, al-karahah, dan al-ibahah. Perbuatan yang dituntut tersebut disebut wajib, sunah (mandub), haram, makruh, dan mubah.
Ulama usul fikih membagi hukum Islam menjadi dua bagian, yaitu hukum taklifiy dan hukum wadh’iy, sebagai berikut :
A. Hukum Taklify
Adalah tuntutan Allah SWT yang berkaitan dengan perintah untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya. Hukum taklify tersebut dibagi menjadi lima macam, yaitu:
• Al-ijab, yaitu tuntutan secara pasti dari syariat untuk dilaksanakan dan tidak boleh (dilarang) ditinggalkan, karena orang yang meninggalkannya dikenai hukuman.
• An-nadb, yaitu tuntutan dari syariat untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu tidak secara pasti. Jika tuntutan itu dikerjakan maka pelakunya akan mendapat pahala (kebaikan), tetapi jika ditinggalkan tidak akan mendapat hukuman (tidak berdosa).
• Al-ibahah yaitu firman Allah (Alquran dan hadis) yang mengandung pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya.
• Al-karahah, yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui untaian kata yang tidak pasti. Hal itu menjadikan tuntutan tersebut sebagai al-karahah, yakni anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi kalau perbuatan itu dikerjakan juga, maka pelakunya tidak dikenai hukuman.
• At-tahrim, yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti sehingga tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan itu wajib dipenuhi. Jika perbuatan itu dikerjakan maka pelakunya akan mendapat hukuman (dianggap berdosa).
Sedangkan menurut ulama fikih perbuatan mukallaf (orang yang dibebani hukum yaitu orang yang sudah balig dan berakal sehat) itu jika ditinjau dari syariat (hukum Islam) dibagi menjadi menjadi lima macam, yaitu:
a. Fardu (wajib), yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya mendapat pahala, tetapi apabila ditinggalkan akan mendapat hukuman (dianggap berdosa). Perbuatan wajib ditinjau dari segi orang yang melakukannya dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Fardu ‘ain: perbuatan yang harus dikerjakan oleh setiap mukallaf, seperti salat lima waktu.
2. Fardu kifayyah: perbuatan yang harus dikerjakan oleh salah seorang anggota masyarakat, maka anggota-anggota masyarakat lainnya tidak dikenai kewajiban lagi. Namun, apabila perbuatan yang hukumnya fardu kifayyah itu, tidak dikerjakan oleh seorang pun dari anggota masyarakat, maka seluruh anggota masyarakat dianggap berdosa. Contohnya: memandikan, mengafani, mensalatkan dan menguburkan jenazah seorang muslim, membangun mesjid dan rumah sakit.
b. Sunnah (mandub), yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan, pelakunya akan mendapat pahala, tetapi apabila ditinggalkan tidak mendapat siksa. Perbuatan sunnah dibagi dua:
1.Sunnah ‘ain: perbuatan yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh setiap individu. Misalnya: salat sunnah rawatib.
2.Sunnah kifayyah: perbuatan yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh salah seorang (beberapa orang) dari golongan masyarakat. Misalnya: mendoakan muslim/muslimah dan memberi salam.
c. Haram, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya dianggap berdosa dan akan mendapat siksa, tetapi apabila ditinggalkan maka pelakunya akan mendapat pahala. Misalnya: berzina, mencuri, membunuh.
d. Makruh, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya tidak akan mendapat siksa, tetapi apabila ditinggalkan maka pelakunya akan mendapat pahala. Misalnya: meninggalkan salat Dhuha.
e. Mubah, yaitu perbuatan yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan. Misalnya: usaha-usaha yang halal melebihi kebutuhan pokoknya dan memilih warna pakaian penutup auratnya.
B. Hukum Wad’iy
Adalah perintah Allah SWT, yang mengandung pengertian, bahwa terjadinya
sesuatu merupakan sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu (hukum). Ulama usul fikih berpendapat bahwa hukum wad’iy itu terdiri dari 3 macam:
1. Sebab, yaitu sifat yang nyata dan dapat diukur yang dijelaskan oleh nas (Alquran dan hadis), bahwa keberadaannya menjadi sebab tidak adanya hukum. Misalnya: tergelincirnya matahri menjadi sebab wajibnya Salat Zuhur, terbenamnya matahari menjadi sebab wajibnya Salat Magrib. Dengan demikian, jika matahari belum tergelincir maka Salat Zuhur belum wajib dilakukan.
2. Syarat, yaitu sesuatu yang berada di luar hukum syarak, tetapi keberadaan hukum syarak tergantung kepadanya. Jika syarat tidak ada, maka hukum pun tidak ada. Misalnya: genap satu tahun (haul), adalah syarat wajibnya harta perniagaan. Jika tidak ada haul, tidak ada kewajiban zakat harta perniagaan tersebut.
3. Mani (penghalang), yaitu sesuatu yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukum atau tidak adanya sebab bagi hukum. Misalnya: najis yang ada di badan atau pakaian orang yang sedang mengerjakan salat menyebabkan salatnya tidak sah (menghalangi sahnya salat).
Setelah kita mengetahui pengertian hukum atau syariat Islam, barulah kita mengetahui pengertian sumber hukum Islam. Yang dimaksud sumber hukum adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata (Sudarsono, 1992:1). Dengan demikian, sumber hukum Islam adalah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau pedoman syariat Islam.
Pada umumnya ulama fikih sependapat bahwa sumber utama hukum Islam adalah Alquran dan Hadis. Dalam sabdanya Nabi SAW menyatakan, “Aku tinggalkan bagi kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat selamanya, selama kalian berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah (Alquran) dan sunahku (Hadis).” (H.R. Al Baihaki). Di samping itu pula, para ulama fikih menjadikan ijtihad sebagai salah satu dasar hukum Islam, setelah Alquran dan hadis.
Seluruh hukum produk manusia adalah subyektif. Hal ini dikarenakan minimnya ilmu yang diberikan Allah Swt. tentang kehidupan dunia dan kecenderungan untuk menyimpang. Sedangkan hukum Allah Swt. adalah peraturan yang lengkap dan sempurna serta sejalan dengan fitrah manusia.
Sumber ajaran Islam dirumuskan dengan jelas dalam percakapan Nabi Muhammad dengan sahabat beliau Mu’az bin Jabal, yakni terdiri dari tiga sumber yaitu al-Qur’an (kitabullah), as-Sunnah (kini dihimpun dalam hadis), dan ra’yu atau akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad.
Ketiga sumber ajaran ini merupakan satu rangkaian kesatuan dengan urutan yang tidak boleh dibalik.
1. AL QUR’AN
Secara etimologis, al-Qur’an berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan atau qur’aanan yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dlammu). Huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian kebagian lain secara teratur dikatakan al-Qur’an karena ia berisikan intisari dari semua kitabullah dan intisari dari ilmu pengetahuan. Allah berfirman :
“ Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (dalam dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kamu telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya”. (al Qiyamah [75]:17-18).
Sedangkan menurut para ulama klasik, al-Qur’an didefinisikan sebagai berikut:
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan pada Rasulullah dengan bahasa Arab, merupakan mu’jizat dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah ibadah.
Adapun pokok-pokok kandungan dalam al-Qur’an antara lain:
a. Tauhid, yaitu kepercayaan terhadap ke-Esaan Allah dan semua kepercayaan yang berhubungan dengan-Nya.
b. Ibadah, yaitu semua bentuk perbuatan sebagai manifestasi dari kepercayaan ajaran tauhid.
c. Janji dan ancaman (al wa’d wal wa’iid), yaitu janji pahala bagi orang yang percaya dan mau mengamalkan isi al-Qur’an dan ancaman siksa bagi orang yang mengingkarinya.
d. Kisah umat terdahulu, seperti para Nabi dan Rasul dalam menyiarkan risalah Allah maupun kisah orang-orang shaleh ataupun orang yang mengingkari kebenaran al-Qur’an agar dapat dijadikan pembelajaran bagi umat setelahnya.
Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum, sebagai berikut:
• Hukum I’tiqadiah, yakni hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia dengan Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah/keimanan. Hukum ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.
• Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syara/syariat. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.
• Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan dengan perilaku normal manusia dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk sosial. Hukum ini tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Akhlaq atau Tasawuf.
Sedangakan khusus hukum syara dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni:
• Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, misalnya salat, puasa, zakat, haji, dank urban.
• Hukum muamalat, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Termasuk ke dalam hukum muamalat adalah sebagai berikut:
• Hukum munakahat (pernikahan).
• Hukum faraid (waris).
• Hukum jinayat (pidana).
• Hukum hudud (hukuman).
• Hukum jual-beli dan perjanjian.
• Hukum al-khilafah (tata Negara/kepemerintahan).
• Hukum makanan dan penyembelihan.
• Hukum aqdiyah (pengadilan).
• Hukum jihad (peperangan).
• Hukum dauliyah (antarbangsa).
2. AS-SUNNAH ATAU HADIS
Sunnah menurut istilah syar’i adalah sesuatu yang berasal dari Rasulullah Saw. baik berupa perkataan, perbuatan, dan penetapan pengakuan. Sunnah berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat al-Qur’an yang kurang jelas atau sebagai penentu beberapa hukum yang tidak terdapat dalam al-Qur’an.
As-Sunnah dibagi menjadi empat macam, yakni:
a. Sunnah Qauliyah, yaitu semua perkataan Rasulullah
b. Sunnah Fi’liyah, yaitu semua perbuatan Rasulullah
c. Sunnah Taqririyah, yaitu penetapan dan pengakuan Nabi terhadap pernyataan ataupun perbuatan orang lain
d. Sunnah Hammiyah, yakni sesuatu yang telah direncanakan akan dikerjakan tapi tidak sampai dikerjakan.
Ada beberapa ahli hadis yang mengatakan bahwa istilah hadis dipergunakan khusus untuk sunnah qauliyah (perkataan Nabi), sedangkan sunnah fi’liyah (perbuatan) dan sunnah taqririyah tidak disebut hadis, tetapi sunnah saja.
3. SUMBER PELENGKAP AR-RA’YU
Secara garis besar ayat-ayat al-Qur’an dibedakan atas ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat. Ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah jelas dan terang maksudnya dan hukum yang dikandungnya tidak memerlukan penafsiran. Pada umumnya bersifat perintah, seperti penegakkan shalat, puasa, zakat dan haji.
Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang memerlukan penafsiran lebih lanjut walaupun dalam bunyinya sudah jelas mempunyai arti, seperti ayat mengenai gejala alam yang terjadi setiap hari. Adanya ayat mutasyabihat mengisyaratkan manusia untuk mempergunakan akalnya dengan benar serta berpikir mengenai ketetapan hukum peristiwa tertentu yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah.
Ijtihad berasal dari kata ijtihada yang berarti mencurahkan tenaga dan pikiran atau bekerja semaksimal mungkin. Sedangkan Ijtihad sendiri berarti mencurahkan segala kemampuan berpikir untuk mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syarak, yaitu Al Quran dan Hadist. Orang yang menetapkan hukum dengan jalan ini disebut mujtahid. Hasil dari ijtihad merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al Quran dan Hadist.
Walaupun Islam adalah agama yang berdasarkan wahyu dari Allah SWT, Islam sangat menghargai akal. Hal ini terbukti dengan banyaknya ayat Al Quran yang memerintahkan manusia untuk menggunakan akal pikirannya, seperti pada surat An Nahl ayat 67 “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkannya”. Oleh karena itu, apabila ada suatu masalah yang hukumnya tidak terdapat di Al Quran maupun Hadist, maka diperintahkan untuk berijtihad dengan menggunakan akal pikiran dengan tetap mengacu kepada Al Quran dan Hadist.
Adapun macam-macam bentuk ijtihad yang dikenal dalam syariat Islam, yaitu:
1. Ijma’, menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli ijtihad umat Nabi Muhammad SAW sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara dengan cara musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
2. Qiyas yang berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan menyamakannya. Dengan kata lain Qiyas dapat diartikan pula sebagai suatu upaya untuk membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang sama. Contohnya adalah pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan ‘ah’, ‘cis’, atau ‘hus’ kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau menghina, apalagi sampai memukul karena sama-sama menyakiti hati orang tua.
3. Istihsan yang berarti suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada Qiyas lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan. Contohnya, menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah (kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan system pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.
4. Mushalat Murshalah, menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Adapum menurut istilah adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan manusia. Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.
5. Sududz Dzariah, menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat. Contohnya adalah adanya larangan meminum minuman keras walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk tidak memabukan. Larangan seperti ini untuk menjaga agar jangan sampai orang tersebut minum banyak hingga mabuk bahkan menjadi kebiasaan.
6. Istishab yang berarti melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut. Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
7. Urf. berupa perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contohnya dalah dalam hal jual beli. Si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.
Ijtihad mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam dan merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al Quran dan Hadist. Dengan ijtihad itu umat Islam menyelesaikan persoalan-persoalan yang hukumnya tidak ada dalam Al Quran maupun Hadist. Setelah Rasulullah wafat, tidak ada lagi sosok yang dapat ditanya secara langsung tentang masalah-masalah Islam. Oleh karena itu, ijtihad dijadikan jalan keluar untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan tetap mengacu pada Al Quran dan Hadist.
Referensi:
Ali, Muhammad Daud. (1997). Pendidikan Agama Islam. Rajawali Pers.
Chaidir, Zulfarizal, dkk.. Agama Islam 1 untuk SMA Kelas X. Yudhistira, 2007.
”Ijtihad,” www.wikipedia.com. 17 Februari 2008.
Mahfudz, Ali, dkk. Fiqih untuk Madrasah Aliyah. Surakarta: CV. Alfadinar
Misrawi, Zuhairi, dkk.(2003). Dari Syariat Menuju Maqashid Syariat. Jakarta: KIKJ.
Qardhawi, Yusuf. Keluasan dan Keluwesan Hukum Islam. Pustaka Mantiq, 1993.
Syamsuri. Pendidikan Agama Islam SMA Jilid 1 untuk Kelas X. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004.
Sebelum membahas pengertian sumber hukum Islam, terlebih dahulu kita harus mengetahui pengertian hukum Islam. Hukum artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya. Hukum Islam disebut juga syariat atau hukum Allah SWT, yaitu hukum atau undang-undang yang ditentukan Allah SWT sebagaimana terkandung dalam kitab suci Alquran dan hadis (sunah). Syariat Islam juga merupakan hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat manusia, baik muslim maupun bukan muslim.
Menurut ulama usul fikih, hukum adalah tuntutan Allah SWT (Alquran dan hadis) yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (orang yang sudah balig dan berakal sehat), baik berupa tuntutan, pemilihan, atau menjadikan sesuatu sebagai syarat, penghalang, sah, batal, rukhsah (kemudahan) atau azimah.
Sedangkan menurut ulama fikih, hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh syariat (Alquran dan hadis) berupa al-wujub, al-mandub, al-hurmah, al-karahah, dan al-ibahah. Perbuatan yang dituntut tersebut disebut wajib, sunah (mandub), haram, makruh, dan mubah.
Ulama usul fikih membagi hukum Islam menjadi dua bagian, yaitu hukum taklifiy dan hukum wadh’iy, sebagai berikut :
A. Hukum Taklify
Adalah tuntutan Allah SWT yang berkaitan dengan perintah untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya. Hukum taklify tersebut dibagi menjadi lima macam, yaitu:
• Al-ijab, yaitu tuntutan secara pasti dari syariat untuk dilaksanakan dan tidak boleh (dilarang) ditinggalkan, karena orang yang meninggalkannya dikenai hukuman.
• An-nadb, yaitu tuntutan dari syariat untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu tidak secara pasti. Jika tuntutan itu dikerjakan maka pelakunya akan mendapat pahala (kebaikan), tetapi jika ditinggalkan tidak akan mendapat hukuman (tidak berdosa).
• Al-ibahah yaitu firman Allah (Alquran dan hadis) yang mengandung pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya.
• Al-karahah, yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui untaian kata yang tidak pasti. Hal itu menjadikan tuntutan tersebut sebagai al-karahah, yakni anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi kalau perbuatan itu dikerjakan juga, maka pelakunya tidak dikenai hukuman.
• At-tahrim, yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti sehingga tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan itu wajib dipenuhi. Jika perbuatan itu dikerjakan maka pelakunya akan mendapat hukuman (dianggap berdosa).
Sedangkan menurut ulama fikih perbuatan mukallaf (orang yang dibebani hukum yaitu orang yang sudah balig dan berakal sehat) itu jika ditinjau dari syariat (hukum Islam) dibagi menjadi menjadi lima macam, yaitu:
a. Fardu (wajib), yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya mendapat pahala, tetapi apabila ditinggalkan akan mendapat hukuman (dianggap berdosa). Perbuatan wajib ditinjau dari segi orang yang melakukannya dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Fardu ‘ain: perbuatan yang harus dikerjakan oleh setiap mukallaf, seperti salat lima waktu.
2. Fardu kifayyah: perbuatan yang harus dikerjakan oleh salah seorang anggota masyarakat, maka anggota-anggota masyarakat lainnya tidak dikenai kewajiban lagi. Namun, apabila perbuatan yang hukumnya fardu kifayyah itu, tidak dikerjakan oleh seorang pun dari anggota masyarakat, maka seluruh anggota masyarakat dianggap berdosa. Contohnya: memandikan, mengafani, mensalatkan dan menguburkan jenazah seorang muslim, membangun mesjid dan rumah sakit.
b. Sunnah (mandub), yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan, pelakunya akan mendapat pahala, tetapi apabila ditinggalkan tidak mendapat siksa. Perbuatan sunnah dibagi dua:
1.Sunnah ‘ain: perbuatan yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh setiap individu. Misalnya: salat sunnah rawatib.
2.Sunnah kifayyah: perbuatan yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh salah seorang (beberapa orang) dari golongan masyarakat. Misalnya: mendoakan muslim/muslimah dan memberi salam.
c. Haram, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya dianggap berdosa dan akan mendapat siksa, tetapi apabila ditinggalkan maka pelakunya akan mendapat pahala. Misalnya: berzina, mencuri, membunuh.
d. Makruh, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya tidak akan mendapat siksa, tetapi apabila ditinggalkan maka pelakunya akan mendapat pahala. Misalnya: meninggalkan salat Dhuha.
e. Mubah, yaitu perbuatan yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan. Misalnya: usaha-usaha yang halal melebihi kebutuhan pokoknya dan memilih warna pakaian penutup auratnya.
B. Hukum Wad’iy
Adalah perintah Allah SWT, yang mengandung pengertian, bahwa terjadinya
sesuatu merupakan sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu (hukum). Ulama usul fikih berpendapat bahwa hukum wad’iy itu terdiri dari 3 macam:
1. Sebab, yaitu sifat yang nyata dan dapat diukur yang dijelaskan oleh nas (Alquran dan hadis), bahwa keberadaannya menjadi sebab tidak adanya hukum. Misalnya: tergelincirnya matahri menjadi sebab wajibnya Salat Zuhur, terbenamnya matahari menjadi sebab wajibnya Salat Magrib. Dengan demikian, jika matahari belum tergelincir maka Salat Zuhur belum wajib dilakukan.
2. Syarat, yaitu sesuatu yang berada di luar hukum syarak, tetapi keberadaan hukum syarak tergantung kepadanya. Jika syarat tidak ada, maka hukum pun tidak ada. Misalnya: genap satu tahun (haul), adalah syarat wajibnya harta perniagaan. Jika tidak ada haul, tidak ada kewajiban zakat harta perniagaan tersebut.
3. Mani (penghalang), yaitu sesuatu yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukum atau tidak adanya sebab bagi hukum. Misalnya: najis yang ada di badan atau pakaian orang yang sedang mengerjakan salat menyebabkan salatnya tidak sah (menghalangi sahnya salat).
Setelah kita mengetahui pengertian hukum atau syariat Islam, barulah kita mengetahui pengertian sumber hukum Islam. Yang dimaksud sumber hukum adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata (Sudarsono, 1992:1). Dengan demikian, sumber hukum Islam adalah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau pedoman syariat Islam.
Pada umumnya ulama fikih sependapat bahwa sumber utama hukum Islam adalah Alquran dan Hadis. Dalam sabdanya Nabi SAW menyatakan, “Aku tinggalkan bagi kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat selamanya, selama kalian berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah (Alquran) dan sunahku (Hadis).” (H.R. Al Baihaki). Di samping itu pula, para ulama fikih menjadikan ijtihad sebagai salah satu dasar hukum Islam, setelah Alquran dan hadis.
Seluruh hukum produk manusia adalah subyektif. Hal ini dikarenakan minimnya ilmu yang diberikan Allah Swt. tentang kehidupan dunia dan kecenderungan untuk menyimpang. Sedangkan hukum Allah Swt. adalah peraturan yang lengkap dan sempurna serta sejalan dengan fitrah manusia.
Sumber ajaran Islam dirumuskan dengan jelas dalam percakapan Nabi Muhammad dengan sahabat beliau Mu’az bin Jabal, yakni terdiri dari tiga sumber yaitu al-Qur’an (kitabullah), as-Sunnah (kini dihimpun dalam hadis), dan ra’yu atau akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad.
Ketiga sumber ajaran ini merupakan satu rangkaian kesatuan dengan urutan yang tidak boleh dibalik.
1. AL QUR’AN
Secara etimologis, al-Qur’an berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan atau qur’aanan yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dlammu). Huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian kebagian lain secara teratur dikatakan al-Qur’an karena ia berisikan intisari dari semua kitabullah dan intisari dari ilmu pengetahuan. Allah berfirman :
“ Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (dalam dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kamu telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya”. (al Qiyamah [75]:17-18).
Sedangkan menurut para ulama klasik, al-Qur’an didefinisikan sebagai berikut:
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan pada Rasulullah dengan bahasa Arab, merupakan mu’jizat dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah ibadah.
Adapun pokok-pokok kandungan dalam al-Qur’an antara lain:
a. Tauhid, yaitu kepercayaan terhadap ke-Esaan Allah dan semua kepercayaan yang berhubungan dengan-Nya.
b. Ibadah, yaitu semua bentuk perbuatan sebagai manifestasi dari kepercayaan ajaran tauhid.
c. Janji dan ancaman (al wa’d wal wa’iid), yaitu janji pahala bagi orang yang percaya dan mau mengamalkan isi al-Qur’an dan ancaman siksa bagi orang yang mengingkarinya.
d. Kisah umat terdahulu, seperti para Nabi dan Rasul dalam menyiarkan risalah Allah maupun kisah orang-orang shaleh ataupun orang yang mengingkari kebenaran al-Qur’an agar dapat dijadikan pembelajaran bagi umat setelahnya.
Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum, sebagai berikut:
• Hukum I’tiqadiah, yakni hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia dengan Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah/keimanan. Hukum ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.
• Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syara/syariat. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.
• Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan dengan perilaku normal manusia dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk sosial. Hukum ini tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Akhlaq atau Tasawuf.
Sedangakan khusus hukum syara dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni:
• Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, misalnya salat, puasa, zakat, haji, dank urban.
• Hukum muamalat, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Termasuk ke dalam hukum muamalat adalah sebagai berikut:
• Hukum munakahat (pernikahan).
• Hukum faraid (waris).
• Hukum jinayat (pidana).
• Hukum hudud (hukuman).
• Hukum jual-beli dan perjanjian.
• Hukum al-khilafah (tata Negara/kepemerintahan).
• Hukum makanan dan penyembelihan.
• Hukum aqdiyah (pengadilan).
• Hukum jihad (peperangan).
• Hukum dauliyah (antarbangsa).
2. AS-SUNNAH ATAU HADIS
Sunnah menurut istilah syar’i adalah sesuatu yang berasal dari Rasulullah Saw. baik berupa perkataan, perbuatan, dan penetapan pengakuan. Sunnah berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat al-Qur’an yang kurang jelas atau sebagai penentu beberapa hukum yang tidak terdapat dalam al-Qur’an.
As-Sunnah dibagi menjadi empat macam, yakni:
a. Sunnah Qauliyah, yaitu semua perkataan Rasulullah
b. Sunnah Fi’liyah, yaitu semua perbuatan Rasulullah
c. Sunnah Taqririyah, yaitu penetapan dan pengakuan Nabi terhadap pernyataan ataupun perbuatan orang lain
d. Sunnah Hammiyah, yakni sesuatu yang telah direncanakan akan dikerjakan tapi tidak sampai dikerjakan.
Ada beberapa ahli hadis yang mengatakan bahwa istilah hadis dipergunakan khusus untuk sunnah qauliyah (perkataan Nabi), sedangkan sunnah fi’liyah (perbuatan) dan sunnah taqririyah tidak disebut hadis, tetapi sunnah saja.
3. SUMBER PELENGKAP AR-RA’YU
Secara garis besar ayat-ayat al-Qur’an dibedakan atas ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat. Ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah jelas dan terang maksudnya dan hukum yang dikandungnya tidak memerlukan penafsiran. Pada umumnya bersifat perintah, seperti penegakkan shalat, puasa, zakat dan haji.
Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang memerlukan penafsiran lebih lanjut walaupun dalam bunyinya sudah jelas mempunyai arti, seperti ayat mengenai gejala alam yang terjadi setiap hari. Adanya ayat mutasyabihat mengisyaratkan manusia untuk mempergunakan akalnya dengan benar serta berpikir mengenai ketetapan hukum peristiwa tertentu yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah.
Ijtihad berasal dari kata ijtihada yang berarti mencurahkan tenaga dan pikiran atau bekerja semaksimal mungkin. Sedangkan Ijtihad sendiri berarti mencurahkan segala kemampuan berpikir untuk mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syarak, yaitu Al Quran dan Hadist. Orang yang menetapkan hukum dengan jalan ini disebut mujtahid. Hasil dari ijtihad merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al Quran dan Hadist.
Walaupun Islam adalah agama yang berdasarkan wahyu dari Allah SWT, Islam sangat menghargai akal. Hal ini terbukti dengan banyaknya ayat Al Quran yang memerintahkan manusia untuk menggunakan akal pikirannya, seperti pada surat An Nahl ayat 67 “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkannya”. Oleh karena itu, apabila ada suatu masalah yang hukumnya tidak terdapat di Al Quran maupun Hadist, maka diperintahkan untuk berijtihad dengan menggunakan akal pikiran dengan tetap mengacu kepada Al Quran dan Hadist.
Adapun macam-macam bentuk ijtihad yang dikenal dalam syariat Islam, yaitu:
1. Ijma’, menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli ijtihad umat Nabi Muhammad SAW sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara dengan cara musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
2. Qiyas yang berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan menyamakannya. Dengan kata lain Qiyas dapat diartikan pula sebagai suatu upaya untuk membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang sama. Contohnya adalah pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan ‘ah’, ‘cis’, atau ‘hus’ kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau menghina, apalagi sampai memukul karena sama-sama menyakiti hati orang tua.
3. Istihsan yang berarti suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada Qiyas lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan. Contohnya, menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah (kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan system pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.
4. Mushalat Murshalah, menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Adapum menurut istilah adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan manusia. Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.
5. Sududz Dzariah, menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat. Contohnya adalah adanya larangan meminum minuman keras walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk tidak memabukan. Larangan seperti ini untuk menjaga agar jangan sampai orang tersebut minum banyak hingga mabuk bahkan menjadi kebiasaan.
6. Istishab yang berarti melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut. Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
7. Urf. berupa perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contohnya dalah dalam hal jual beli. Si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.
Ijtihad mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam dan merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al Quran dan Hadist. Dengan ijtihad itu umat Islam menyelesaikan persoalan-persoalan yang hukumnya tidak ada dalam Al Quran maupun Hadist. Setelah Rasulullah wafat, tidak ada lagi sosok yang dapat ditanya secara langsung tentang masalah-masalah Islam. Oleh karena itu, ijtihad dijadikan jalan keluar untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan tetap mengacu pada Al Quran dan Hadist.
Referensi:
Ali, Muhammad Daud. (1997). Pendidikan Agama Islam. Rajawali Pers.
Chaidir, Zulfarizal, dkk.. Agama Islam 1 untuk SMA Kelas X. Yudhistira, 2007.
”Ijtihad,” www.wikipedia.com. 17 Februari 2008.
Mahfudz, Ali, dkk. Fiqih untuk Madrasah Aliyah. Surakarta: CV. Alfadinar
Misrawi, Zuhairi, dkk.(2003). Dari Syariat Menuju Maqashid Syariat. Jakarta: KIKJ.
Qardhawi, Yusuf. Keluasan dan Keluwesan Hukum Islam. Pustaka Mantiq, 1993.
Syamsuri. Pendidikan Agama Islam SMA Jilid 1 untuk Kelas X. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004.
3.09.2010
Kenapa banyak pertanyaan " bagaimana kalau lupa ??? "
Pada saat mengajar, dalam pembahasan materiagama Islam, terutama bab sholat baik di SMP ataupun SMA banyak sekali anak-anak yang bertanya. Pak, bagaimana kalau saya lupa tidak mengerjakan sholat ?. Dengan berbagai alasan ada yang karena ketiduran, capek dan lain-lainnya.
Dari Ibnu Abbas r.a berkata, bahwa sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, Sesungguhnya Allah mengampuni beberapa prilaku umat-Ku, yakni keliru, lupa dan terpaksa. Hadits Hasan riwayat Ibnu Majah dalam Thalak, bab: Yang dipaksa dan yang lupa, nomor 2034.
Pemahaman dan pelajaran yang dikandung hadits ini, mencakup orang yang melanggar larangan Allah, atau meninggalkan perintah-Nya karena tidak sengaja dalam mengerjakan atau meninggalkannya, demikian pula perbuatan yang dilakukan dalam keadaan lupa atau terpaksa, maka semua itu tidak terkena celaan di dunia dan hukuman di akhirat, sebagai karunia dan nikmat dari Allah.
Karunia Allah atas umat ini sangat agung, karena Dia telah meringankan kewajiban yang dibebankan kepada umat yang lain. Orang-orang Bani Israel jika mereka diperintah lalu mereka lupa, atau jika dilarang lalu mereka melanggarnya, maka mereka dihukum dan diberi sangsi oleh Allah Ta'ala. Sementara Allah mengabulkan doa umat ini dan menangguhkan azab-Nya dari mereka. Yang menunjukkan kepada fenomena ini adalah firman Allah:
(Mereka berdoâ), ˜Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hokum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. (Al-Baqarah:286)
Allah mengampuni apa yang diperbuat karena kesalahan atau lupa, maka Allah tidak menghukumnya, Allah berfirman: Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu.(Al-Ahzab:5)
yang dimaafkan bukan berarti lepas dari seluruh hukuman. Perbuatan seorang mukallaf (yang terbebani kewajiban) jika melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan syariat, maka dia memiliki konsekuensi hukum yang akan ditimpakan kepadanya, yaitu berupa penjatuhan sangsi atau dia dianggap sebagai orang yagn berdosa, atau dia harus mengqadha yang tertinggal atau mengganti apa yang dirusak dan yang semisalnya.
seorang muslim wajib memperhatikan masalah shalatnya, menunaikan pada waktunya dengan cara berjamaah, tidak bermalas-malasan ataupun menunda-nundanya. Karena hal ini bisa menjadi penyebab terlewat atau terlupakannya shalat. Adapun jika ada seseorang yang lupa atau tertidur sehingga tidak bisa melaksanakan shalat, maka ia wajib melaksanakan shalat yang tertinggal yang disebabkan oleh lupa atau tertidur, (yaitu) segera saat ia ingat. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam :
" Barang siapa yang lupa mengerjakan satu shalat atau tertidur, maka hendaklah ia mengerjakannya saat ia ingat. Tidak ada denda baginya, kecuali itu". (HR Imam Muslim dalam kitab shahîhnya, 1/477,dari hadits Anas bin Mâlik radhiallahu'anhu ).
Allah 'Azza wa Jalla juga berfirman :
"Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku". (Qs. Thâha/20:14)
Jadi jika kita lupa tidak sholat karena tidur, maka jika terbangun dari tidurnya atau teringat, hendaklah bergegas melaksanakan shalat yang tertinggal, kapanpun ia ingat atau terbangun
Demikian semoga dapat menjadi pengetahuan dan menambha amal ibadah kita.
Amin, amin, amin ya robbal 'alamin.
Dari Ibnu Abbas r.a berkata, bahwa sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, Sesungguhnya Allah mengampuni beberapa prilaku umat-Ku, yakni keliru, lupa dan terpaksa. Hadits Hasan riwayat Ibnu Majah dalam Thalak, bab: Yang dipaksa dan yang lupa, nomor 2034.
Pemahaman dan pelajaran yang dikandung hadits ini, mencakup orang yang melanggar larangan Allah, atau meninggalkan perintah-Nya karena tidak sengaja dalam mengerjakan atau meninggalkannya, demikian pula perbuatan yang dilakukan dalam keadaan lupa atau terpaksa, maka semua itu tidak terkena celaan di dunia dan hukuman di akhirat, sebagai karunia dan nikmat dari Allah.
Karunia Allah atas umat ini sangat agung, karena Dia telah meringankan kewajiban yang dibebankan kepada umat yang lain. Orang-orang Bani Israel jika mereka diperintah lalu mereka lupa, atau jika dilarang lalu mereka melanggarnya, maka mereka dihukum dan diberi sangsi oleh Allah Ta'ala. Sementara Allah mengabulkan doa umat ini dan menangguhkan azab-Nya dari mereka. Yang menunjukkan kepada fenomena ini adalah firman Allah:
(Mereka berdoâ), ˜Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hokum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. (Al-Baqarah:286)
Allah mengampuni apa yang diperbuat karena kesalahan atau lupa, maka Allah tidak menghukumnya, Allah berfirman: Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu.(Al-Ahzab:5)
yang dimaafkan bukan berarti lepas dari seluruh hukuman. Perbuatan seorang mukallaf (yang terbebani kewajiban) jika melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan syariat, maka dia memiliki konsekuensi hukum yang akan ditimpakan kepadanya, yaitu berupa penjatuhan sangsi atau dia dianggap sebagai orang yagn berdosa, atau dia harus mengqadha yang tertinggal atau mengganti apa yang dirusak dan yang semisalnya.
seorang muslim wajib memperhatikan masalah shalatnya, menunaikan pada waktunya dengan cara berjamaah, tidak bermalas-malasan ataupun menunda-nundanya. Karena hal ini bisa menjadi penyebab terlewat atau terlupakannya shalat. Adapun jika ada seseorang yang lupa atau tertidur sehingga tidak bisa melaksanakan shalat, maka ia wajib melaksanakan shalat yang tertinggal yang disebabkan oleh lupa atau tertidur, (yaitu) segera saat ia ingat. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam :
" Barang siapa yang lupa mengerjakan satu shalat atau tertidur, maka hendaklah ia mengerjakannya saat ia ingat. Tidak ada denda baginya, kecuali itu". (HR Imam Muslim dalam kitab shahîhnya, 1/477,dari hadits Anas bin Mâlik radhiallahu'anhu ).
Allah 'Azza wa Jalla juga berfirman :
"Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku". (Qs. Thâha/20:14)
Jadi jika kita lupa tidak sholat karena tidur, maka jika terbangun dari tidurnya atau teringat, hendaklah bergegas melaksanakan shalat yang tertinggal, kapanpun ia ingat atau terbangun
Demikian semoga dapat menjadi pengetahuan dan menambha amal ibadah kita.
Amin, amin, amin ya robbal 'alamin.
Langganan:
Postingan (Atom)